UPAYA PEMERINTAH MENGATASI KEMISKINAN
Menghilangkan kemiskinan boleh
dikata mimpi atau hanya janji surga. Tapi mengurangi kemiskinan sekecil
mungkin bisa dilakukan. Ada beberapa program yang perlu dilakukan agar kemiskinan
di Indonesia bisa dikurangi.
Pertama, meningkatkan
pendidikan rakyat. Sebisa mungkin pendidikan harus terjangkau oleh seluruh
rakyat Indonesia. Banyaknya sekolah yang rusak menunjukkan kurangnya pendidikan
di Indonesia. Tentu bukan hanya fisik, bisa jadi gurunya pun kekurangan gaji
dan tidak mengajar lagi.
Dulu pada tahun 1970-an,
sekolah dasar dibagi dua. Ada sekolah pagi dan ada sekolah siang sehingga 1
bangunan sekolah bisa dipakai untuk 2 sekolah dan melayani murid dengan jumlah
2 kali lipat. Sebagai contoh di sekolah saya ada SDN Bidaracina 01 Pagi
(Sekarang berubah jadi Cipinang Cempedak 01 Pagi) dan SDN Bidaracina 02 Petang.
Sekolah pagi mulai dari jam 7.00 hingga 12.00 sedang yang siang dari jam 12:30
hingga 17:30. Satu bangunan sekolah bisa menampung total 960 murid!
Ini tentu lebih efektif dan
efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan gedung sekolah bisa dihemat hingga
separuhnya. Mungkin ada yang berpendapat bahwa hal itu bisa mengurangi jumlah
pelajaran karena jam belajar berkurang. Padahal tidak. Sebaliknya jam pelajaran
di sekolah terlalu lama justru membuat siswa jenuh dan tidak mandiri karena
dicekoki oleh gurunya. Guru bisa memberi mereka PR atau tugas yang dikerjakan
baik sendiri, bersama orang tua, atau teman-teman mereka. Ini melatih kemandirian
serta kerjasama antara anak dengan orang tua dan juga dengan teman mereka.
Selain itu biaya untuk beli
buku cukup tinggi, yaitu per semester atau caturwulan bisa mencapai Rp 200 ribu
lebih. Setahun paling tidak Rp 400 ribu hanya untuk beli buku. Jika punya 3
anak, berarti harus mengeluarkan uang Rp 1,2 juta per tahun. Hanya untuk uang
buku orang tua harus mengeluarkan 130% lebih dari Upah Minimum Regional (UMR)
para buruh yang hanya sekitar 900 ribuan.
Untuk mengurangi beban orang
tua dalam hal uang buku, pemerintah bisa menyediakan Perpustakaan Sekolah. Dulu
perpustakaan sekolah meminjamkan buku-buku Pedoman (waktu itu terbitan Balai
Pustaka) kepada seluruh siswa secara gratis. Untuk soal bisa didikte atau
ditulis di papan tulis.
Ini beda dengan sekarang di
mana buku harus ditulis dengan pulpen sehingga begitu selesai dipakai harus
dibuang. Tak bisa diturunkan ke adik-adiknya.
Saat ini biaya SPP sekolah
gratis hanya mencakup SD dan SMP (Meski sebetulnya tetap bayar yang lain dengan
istilah Ekskul atau Les) sedang untuk Perguruan Tinggi Negeri biayanya justru
jauh lebih tinggi dari Universitas Swasta yang memang bertujuan komersial.
Untuk masuk UI misalnya orang tahun 2005 saja harus bayar uang masuk antara Rp
25 hingga 75 juta. Padahal tahun 1998 orang cukup bayar sekitar Rp 300 ribu
sehingga orang miskin dulu tidak takut untuk menyekolahkan anaknya di PTN
seperti UI, IPB, UGM, ITS, dan sebagainya. Meski ada surat edaran Rektor bahwa
orang tua tidak perlu takut akan bayaran karena bisa minta keringanan, namun
teori beda dengan praktek.
Boleh dikata orang-orang miskin
saat ini mimpi untuk bisa masuk ke PTN. Jika pun ada paling cuma segelintir
saja yang mau bersusah payah mengurus surat keterangan tidak mampu dan
merendahkan diri mereka di depan birokrat kampus sebagai Keluarga Miskin
(Gakin) untuk minta keringanan biaya.
Tanpa pendidikan, sulit bagi
rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi bangsa yang maju.
Kedua, pembagian tanah/lahan
pertanian untuk petani. Paling tidak separuh rakyat (sekitar 100 juta penduduk)
Indonesia masih hidup di bidang pertanian. Menurut Bank Dunia, mayoritas petani
Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,4 hektar. Bahkan ada yang tidak punya
tanah dan sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran antar desa hingga
jatuh korban jiwa hanya karena memperebutkan lahan beberapa hektar!
Artinya jika 1 hektar bisa
menghasilkan 6 ton gabah dan panen 2 kali dalam setahun serta harga gabah hanya
Rp 2.000/kg, pendapatan kotor petani hanya Rp 9,6 juta per tahun atau Rp 800
ribu/bulan. Jika dikurangi dengan biaya benih, pestisida, dan pupuk dengan
asumsi 50% dari pendapatan mereka, maka penghasilan petani hanya Rp 400
ribu/bulan saja.
Pada saat yang sama 69,4 juta
hektar tanah dikuasai oleh 652 pengusaha. Ini menunjukkan belum adanya keadilan
di bidang pertanahan. Dulu pada zaman Orba (Orde Baru) ada proyek Transmigrasi
di mana para petani mendapat tanah 1-2 hektar di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Transportasi, rumah, dan biaya hidup selama setahun
ditanggung oleh pemerintah.
Program itu sebenarnya cukup
baik untuk diteruskan mengingat saat ini Indonesia kekurangan pangan seperti
beras, kedelai, daging sapi, dsb sehingga harus impor puluhan trilyun rupiah
setiap tahunnya.
Jika petani dapat tanah 2
hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi Rp 48 juta per tahun atau bersih
bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga.
Memang biaya transmigrasi cukup
besar. Untuk kebutuhan hidup selama setahun, rumah, lahan, dan transportasi
paling tidak perlu Rp 40 juta per keluarga. Dengan anggaran Rp 10 trilyun per
tahun ada 250.000 keluarga yang dapat diberangkatkan per tahunnya.
Seandainya tiap keluarga
mendapat 2 hektar dan tiap hektar menghasilkan 12 ton beras per tahun, maka
akan ada tambahan produksi sebesar 6 juta ton per tahun. Ini sudah cukup untuk
menutupi kekurangan beras di dalam negeri.
Saat ini dari 2 juta ton
kebutuhan kedelai di Indonesia (sebagian untuk tahu dan tempe), 60% diimpor
dari luar negeri. Karena harga kedelai luar negeri naik dari Rp 3.500/kg
menjadi Rp 7.500/kg, para pembuat tahu dan tempe banyak yang bangkrut dan
karyawannya banyak yang menganggur.
Jika program transmigrasi
dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam adalah produk di mana kita harus
impor seperti kedelai, niscaya kekurangan kedelai bisa diatasi dan Indonesia
tidak tergantung dari impor kedelai yang nilainya lebih dari Rp 8 trilyun per
tahunnya. Ini akan menghemat devisa.
Ketiga, tutup bisnis pangan
kebutuhan utama rakyat dari para pengusaha besar. Para petani/pekebun kecil
sulit untuk mengekspor produk mereka. Sebaliknya para pengusaha besar dengan
mudah mengekspor produk mereka (para pengusaha bisa menekan/melobi pemerintah)
sehingga rakyat justru bisa kekurangan makanan atau harus membayar tinggi sama
dengan harga Internasional. Ini sudah terbukti dengan melonjaknya harga minyak
kelapa hingga 2 kali lipat lebih dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan akibat
kenaikan harga Internasional. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
Jika produk utama seperti
beras, kedelai, terigu dikuasai oleh pengusaha, rakyat akan menderita akibat
permainan harga.
Selain itu dengan dikuasainya
industri pertanian oleh pengusaha besar, para petani yang merupakan mayoritas
dari rakyat Indonesia akan semakin tersingkir dan termiskinkan.
Keempat, lakukan efisiensi di
bidang pertanian. Perlu dikaji apakah pertanian kita efisien atau tidak. Jika
pestisida kimia mahal dan berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan predator
alami seperti burung hantu untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika pupuk
kimia mahal dan berbahaya, coba pupuk organik seperti pupuk hijau/kompos.
Semakin murah biaya pestisida dan pupuk, para petani akan semakin terbantu
karena ongkos tani semakin rendah.
Jika membajak sawah bisa
dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa harus memakai traktor? Dengan sapi/kerbau
para petani bisa menternaknya sehingga jadi banyak untuk kemudian dijual.
Daging dan susunya juga bisa dimakan. Sementara traktor bisa rusak dan butuh
bensin/solar yang selain mahal juga mencemari lingkungan.
Kelima, data produk-produk yang
masih kita impor. Kemudian teliti produk mana yang bisa dikembangkan di dalam
negeri sehingga kita tidak tergantung dengan impor sekaligus membuka lapangan
kerja. Sebagai contoh jika mobil
bisa kita produksi sendiri, maka itu akan sangat
menghemat devisa dan membuka lapangan kerja. Ada 1 juta mobil dan 6,2 juta
sepeda motor terjual di Indonesia dengan nilai lebih dari Rp 200 trilyun/tahun.
Jika pemerintah menyisihkan 1% saja dari APBN yang Rp 1.000 trilyun/tahun untuk
membuat/mendukung BUMN yang menciptakan kendaraan nasional, maka akan terbuka
lapangan kerja dan penghematan devisa milyaran dollar setiap tahunnya.
Keenam, stop
eksploitasi/pengurasan kekayaan alam oleh perusahaan asing. Kelola sendiri. Banyak
kekayaan alam kita yang dikelola oleh asing dengan alasan kita tidak mampu dan
sedang transfer teknologi. Kenyataannya dari tahun 1900 hingga saat ini ketika
minyak hampir habis kita masih ”transfer teknologi”.
Padahal 95% pekerja dan
insinyur di perusahaan-perusahaan asing adalah orang Indonesia. Expat
paling hanya untuk level managerial. Bahkan perusahaan migas Qatar pun di
Kompas sering pasang lowongan untuk merekrut ahli migas kita.Saat ini
1.500 ahli perminyakan Indonesia bekerja di Timur Tengah seperti Arab Saudi,
Kuwait, dan Qatar. Bahkan ada Doktor Perminyakan yang bekerja di negara Eropa
seperti Noewegia!
Sekilas kita untung dengan
pembagian 85% sedang kontraktor asing hanya 15%. Padahal kontraktor asing
tersebut memotong terlebih dulu pendapatan yang ada dengan cost recovery yang
besarnya mereka tentukan sendiri. Bahkan ongkos bermain golf dan biaya rumah sakit
di luar negeri ex-patriat dimasukkan ke dalam cost recovery, begitu satu media
memberitakan. Akibatnya di Natuna sebagai contoh, Indonesia tidak dapat
apa-apa. Kontraktor asing sendiri, seperti Exxon sendiri mengantongi keuntungan
hingga Rp 360 trilyun setiap tahun dari pengelolaan minyak dan gas di berbagai
negara termasuk Indonesia. Menurut PENA, pada tahun 2008 saja sekitar Rp 2.000
trilyun/tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia justru masuk ke kantong asing.
Padahal jitu bisa dipakai untuk melunasi hutang luar negeri dan mensejahterakan
rakyat Indonesia.
Bahkan untuk royalti emas dan
perak di Papua, Freeport
yang cuma “tukang cangkul” dapat 99% sementara bangsa Indonesia sebagai pemilik
emas cuma dibagi 1%! Bagaimana
bisa kaya? Jadi kalau didapat emas dan perak sebesar Rp 100 trilyun, Indonesia
cuma dapat Rp 1 trilyun saja!
Banyak perusahaan asing
beroperasi menguras kekayaan alam Indonesia. Tetangga saya yang menambang emas
bekerjasama dengan penduduk lokal dengan memakai alat pahat dan martil saja
bisa mendapat Rp 240 juta per bulan, bagaimana dengan Freeport yang memakai
banyak excavator dan truk-truk raksasa yang meratakan gunung-gunung di Papua?
Agar Indonesia bisa makmur,
maka Indonesia harus mengelola sendiri kekayaan alamnya.
Jika beberapa langkah sederhana
bisa dilakukan, niscaya Indonesia akan menjadi lebih baik
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar